LAWAN TUDUHAN JOB-HOPPING & ANCAMAN PEMULANGAN
HENTIKAN PERAMPASAN KERJA, GAJI DAN SEGALA BENTUK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN MIGRAN

Dalam peringatan Kampanye 16 Hari Melawan Kekerasan Terhadap Perempuan (25 November sampai 10 Desember), Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Hong Kong menuntut pemerintah Hong Kong agar berhenti menuduh PRT migran melakukan “job-hopping” (gonta-ganti majikan), memberi kesempatan kerja kepada mereka yang mengalami pemutusan kontrak di masa pandemi dan segera memperbaiki kondisi kerja yang semakin memburuk.
JBMI sangat geram atas kebijakan imigrasi yang menolak permohonan kerja dan memulangkan sebanyak 1784 orang, dari 4475 orang dari Januari hingga Oktober 2021. Jumlah tersebut lima kali lebih besar dari pemulangan yang dilakukan pada 2020 kemarin.
PRT migran yang ditolak umumnya mereka yang diputus atau memutuskan kontrak kerja. Akan tetapi, pemutusan tidak disertai dengan alasan dan bukti yang meyakinkan pihak imigrasi. Kenapa itu, ketika mengajukan kontrak baru, imigrasi menolak permohonannya dan malah diberi surat pemulangan (surat merah). Lebih dari itu, kesempatan untuk bisa kerja lagi di Hong Kong sangat tipis meskipun sudah mendapat majikan baru.
Tuduhan dan pemulangan ini sangat tidak adil, diskriminatif dan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan migran PRT. Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah Hong Kong meniadakan pengorbanan dan kontribusi besar yang telah diberikan 350.000 ribu PRT migran kepada masyarakat dan pertumbuhan ekonomi lokal.
Dari pengalaman JBMI, PRT migran tidak suka bergonta-ganti majikan. Mereka yang terpaksa pindah majikan umumnya disebabkan oleh kondisi kerja dan perlakuan buruk misalnya jam kerja terlalu panjang (hingga 18-19 jam per hari), tuntutan kerja terlalu tinggi, dilarang libur, dipaksa bekerja tidak sesuai kontrak seperti memijat atau di tempat lain, tempat tidur tidak layak, mengalami kekerasan mental hingga seksual, dan masih banyak lagi. Selain beban kerja, pekerja migran juga tertekan secara finansial karena tuntutan keluarga dan harus membeli kebutuhannya sendiri. Akibatnya, PRT migran mengalami tiga stres yaitu kesehatan, keuangan dan mental.
PRT migran adalah garda terdepan dalam menjaga kesehatan dan ekonomi masyarakat Hong Kong di masa pandemi. Sejak tahun 1970, peran kita sangat besar karena membebaskan para majikan dari urusan rumah tangga sehingga bebas bekerja, mendapat gaji dan karier yang lebih tinggi tanpa perlu mengkhawatirkan anggota keluarganya. Bahkan di masa pandemi, PRT migran juga telah banyak berkorban mulai dari tuntutan kerja yang lebih banyak dan jam kerja yang lebih panjang. Tapi bukannya diberi perlindungan dan bantuan keuangan, PRT migran malah disudutkan dengan tuduhan penyebar virus, dilarang berlibur, dilarang berganti majikan dan bahkan dideportasi.
Selain permasalahan diatas, PRT migran juga menjadi korban kekerasan struktural pemerintah Indonesia dengan terus menggiring ke P3MI/agen, memungut biaya penempatan berlebih (overcharging) dan tidak menyediakan pelayanan yang memadai. Belum lagi, kekerasan yang dilakukan P3MI, agen dan lembaga keuangan seperti menahan dokumen-dokumen pribadi, memaksa memakai alat kontrasepsi, mengintimidasi dan bahkan mempidanakan.
Di tengah pandemi, perwakilan RI diluar negeri juga membuat kebijakan untuk membatasi dan bahkan menutup layanan shelter tanpa memberi alternatif atau bantuan keuangan, dan permintaan biaya kepulangan dipersulit dengan harus menyertakan surat keterangan miskin.
Pemerintah tidak hanya memiskinkan dan mengekspor rakyatnya keluar negeri, tetapi juga menelantarkan dan menjebak pekerja migran ke dalam sistem perbudakan modern.
Lalu apa yang bisa dan harus kita lakukan sebagai perempuan pekerja migran?
Tidak ada jalan lain bagi perempuan migran kecuali memperkuat organisasi dan persatuan kita demi menghentikan kebijakan dan perlakuan yang tidak adil, sembari kita juga tetap harus menjaga kesehatan dan keselamatan kita.
Kita harus cepat memberitahukan kepada sesama pekerja migran agar tidak asal-asalan memutuskan kontrak ketika mengalami ketidakadilan dan segera meminta bantuan organisasi untuk melaporkan. Kita juga harus mendidik kita tentang perkembangan yang terjadi di Hong Kong, Indonesia dan bahkan dunia supaya kita lebih terpandu dalam membuat keputusan di masa atau setelah pandemi.
Sebagai aliansi yang konsisten di barisan terdepan memperjuangkan hak dan martabat pekerja migran, JBMI mengajak pekerja migran di Hong Kong untuk melawan tuduhan dan kebijakan yang tidak adil ini dengan membuat foto poster, cerita atau video menyongsong peringatan hari Hari Migran Internasional pada tanggal 18 Desember mendatang.
Sejarah telah mencatat bagaimana perempuan adalah manusia kuat dan berperan vital dalam peradaban masyarakat. Perempuan adalah tenaga produktif yang turut bekerja dengan laki-laki di berbagai sektor dan dan bereproduksi dengan melahirkan generasi penerus umat manusia. Namun untuk mewujudkan pengakuan dan kesetaraan ini, semua perempuan termasuk perempuan migran masih harus belajar, bersatu dan berjuang mewujudkannya.